Angklung adalah alat musik
multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh
benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam
susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil.
Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang diterbitkan pada
tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat musik yang terbuat
dari pipa-pipa bambu, yang dipotong ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam
suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk
menghasilkan bunyi. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.
Asal-usul
Anak-anak Jawa Barat bermain angklung di awal abad ke-20.
Tidak ada petunjuk sejak kapan
angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam
kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern,
sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan
Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru
muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda
(abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti
angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan
sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos
kepercayaan terhadap Nyai Sri
Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi
kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli,
menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu
yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari
ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri
turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan
sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu
putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung
bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil
hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak
masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam
pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa
sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda
sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat
popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak- anak pada waktu
itu.
Selanjutnya lagu-lagu persembahan
terhadap Dewi Sri
tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang
bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu
yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen
dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian
Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah
pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat
menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan
sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung
berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada
1908 tercatat sebuah misi
kebudayaan dari Indonesia ke Thailand,
antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun
sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena
—tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras
pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung
kepada banyak orang dari berbagai komunitas.
Jenis
Angklung
Angklung
Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita
sering menyebut mereka orang Baduy)
digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata
untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka
menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang
hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy
Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar).
Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap
mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare
(mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu,
selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh
dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung
dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun
(menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung
biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung
di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam
lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala,
Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong
Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan,
Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler,
Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre,
Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para
penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil
membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu
yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku
tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda
dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan
pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang
berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari
yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung
leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh
seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan
ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung
Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik,
hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo,
hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat
angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3
kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak
semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang
mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik
yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang
Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.
Angklung
Reyog
Angklung Reyog merupakan alat musik
untuk mengiringi tarian reyog ponorogo di jawa timur. angklung Reyog memiliki
khas dari segi suara yang sangat keras, memiliki dua nada serta bentuk yang
lengkungan rotan yang menarik (tidak seperti angklung umumnya ang berbentuk
kubus) dengan hiasan benang berumbai-rumbai warna yang indah. di kisahkan
angklung merupakan sebuah senjata dari kerajaan bantarangin ketika melawan
kerajaan lodaya pada abad ke 9, ketika kemenangan oleh kerajaan bantarangin
para prajurit gembira tak terkecuali pemegang angklung, karena kekuatan yang
luar biasa penguat dari tali tersebut lenggang hingga menghasilkan suara yang
khas yaitu klong- klok dan klung-kluk bila didengar akan merasakan getaran
spiritual.
Dalam sejarahnya angklung Reyog ini
digunakan pada film: Warok Singo Kobra (1982), Tendangan Dari Langit (2011)
Dan penggunaan angklung Reyog pada
musik seperti: tahu opo tempe, sumpah palapa, kuto reog, Resik Endah Omber
Girang, dan campursari berbau ponorogoan.
Angklung
Banyuwangi
Angklung banyuwangi ini memiliki
bentuk seperi calung dengan nada budaya banyuwangi
Angklung
Bali
angklung bali memiliki bentuk dan
nada yang khas bali,
Angklung
Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di
masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten
Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun
(berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini
dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di
sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun
sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren
Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot
(sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat
ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang
teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat
dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak).
Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan
pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa
dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang
sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu
digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan
lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah
dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama,
yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap
instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.
Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale
Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul
Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal
dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.
Angklung
Gubrag
Angklung gubrag terdapat di kampung
Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan
digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi),
ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).
Dalam mitosnya angklung gubrag mulai
ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.
Angklung
Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang
menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama.
Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak
lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual
penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak
Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk
Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak.
Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu
sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak
sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan
angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung,
serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda
yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia.
Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut
keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan
pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.
Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh,
Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.
Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan
yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis
digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada
masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan
semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal
berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi
ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi
pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun
(leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan
tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi
pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan
demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal
(membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan
dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang
buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis,
sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam
kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas,
2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1
talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah
dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan
lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya:
Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum.
Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan
penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk
menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di
Jawa Barat (Angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni
pertunjukan angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung),
Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu),
Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong, Garut),
dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada
diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan
angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng
Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya
menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu
lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan
dimainkan secara orkestra besar.
Angklung
Padaeng
Untuk keterangan lebih detail mengenai angklung ini,
silakan kunjungi artikel Angklung Padaeng
Angklung padaeng adalah angklung
yang dikenalkan oleh Daeng Soetigna
sejak sekitar tahun 1938. Terobosan pada angklung padaeng adalah digunakannya
laras nada Diatonik
yang sesuai dengan sistem musik barat. Dengan demikian, angklung kini dapat
memainkan lagu-lagu internasional, dan juga dapat bermain dalam Ensembel
dengan alat musik internasional lainnya.
Angklung
Sarinande
Angklung sarinande adalah istilah
untuk angklung padaeng yang hanya memakai nada bulat saja (tanpa nada kromatis)
dengan nada dasar C. Unit kecil angklung sarinade berisi 8 angklung (nada Do
Rendah sampai Do Tinggi), sementara sarinade plus berisi 13 angklung (nada Sol
Rendah hingga Mi Tinggi).
Angklung
Toel
Angklung toel diciptakan oleh Kang
Yayan Udjo sekitar tahun 2008.Pada alat ini, ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung dijejer
dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya, seorang pemain
cukup men-toel angklung tersebut, dan angklung akan bergetar beberapa saat
karena adanya karet.
Angklung
Sri-Murni
Angklung ini merupakan gagasan Eko
Mursito Budi yang khusus diciptakan untuk keperluan robot angklung.Sesuai namanya, satu angklung ini memakai dua atau lebih tabung suara yang
nadanya sama, sehingga akan menghasilkan nada murni (mono-tonal). Ini berbeda
dengan angklung padaeng yang multi-tonal. Dengan ide sederhana ini, robot
dengan mudah memainkan kombinasi beberapa angklung secara simultan untuk
menirukan efek angklung melodi maupun angklung akompanimen.
Ensemble
angklung
Agar lebih kaya suaranya, angklung
sebaiknya dimainkan dengan alat musik lain membentuk ensembel. Beberapa
ensembel angklung yang sudah mapan adalah:
Klasik
Padaeng
Ensemble angklung klasik yang dikenalkan
oleh Pak Daeng Soetigna terdiri atas:
- Angklung melodi
- Angklung akompanimen
- Bas betot
Kombinasi minimal inilah yang paling
populer dan umum dijumpai saat konser maupun lomba paduan angklung.
Angklung
solo
Angklung solo adalah konfigurasi
dimana satu unit angklung melodi digantung pada suatu palang sehingga bisa
dimainkan satu orang saja. Sesuai dengan konvensi nada diatonis, maka ada dua
jajaran gantungan angklung, yang bawah berisi nada penuh, sedangkan yang atas
berisi nada kromatis. Angklung Solo ini digagas oleh Yoes Roesadi tahun 1964,
dan dimainkan bersama alat musik basanova dalam group yang menamakan diri Aruba
(Alunan Rumpun Bambu). Sekitar tahun 1969, nama Aruba ini disesuaikan menjadi
Arumba.
Arumba
- Satu unit angklung melodi, digantung sehingga bisa dimainkan oleh satu orang
- Satu unit bass lodong, juga dijejer agar bisa dimainkan satu orang
- Gambang bambu melodi
- Gambang bambu akompanimen
- Gendang
Konfigurasi awal ensemble tersebut
diperkenalkan oleh Mochamad Burhan sekitar tahun 1966, yang menggunakannya bersama
grup "Arumba Cirebon".
Ternyata
jenis Angklung sangat banyak yaa.yang saya tahu hanya Angklung saja..Dengan
mengetahui informasi tentang Angklung makin bangga deh dengan Indonesia,begitu
kayanya negri ini dengan begitu banayak kebudayaan yang breragam.
Sumber
:
wikipedia.org/wiki/Angklung